Riding the “Corona” Waves


Kita sadar, situasi pandemi global Covid-19 ini telah banyak memberikan dampak yang cukup signifikan terutama di sektor ekonomi. Dalam sebuah artikel, guncangan (Shock) yang terjadi akibat COVID-19 tidak hanya dari sisi konsumsi (Demand) tetapi juga produksi (Supply), hal ini diperkuat oleh Kajian INDEF: pekerja informal yang mencapai 70,5 juta orang (55,72% dari total tenaga kerja Indonesia) akan mengalami tekanan ekonomi yang berat. (sumber: surabaya.net)


Maka tentu dari aspek sosial kemanusiaan, inilah satu dari cara kita untuk kembali membuktikan sebagai sebuah bangsa besar yang panjang dengan akar sejarahnya, kita punya social fabric (ikatan tenun kebangsaan) yang kuat dan teruji diberbagai kesempatan. Lapangan amal dan kebaikan terbentang luas dihadapan kita. Jangan mau kalah dengan German dan Turki ya!🙂  (salah satu yang juga saya dan kawan-kawan di luar lakukan adalah: https://kitabisa.com/campaign/mobilelabs   — mohon dukungannya)


Dari beragam artikel yang mungkin rekan-rekan juga baca, kita dapati akan ada banyak sektor ekonomi yang terdepreasi secara fatal, namun di samping itu ada pula yang potentially growth dan menemukan titik lejitnya. Insya Allah.

Rekan-rekan, apa yang kita dapati dari hadirnya Corona ini?

Banyak dari kita mulai sadar untuk kembali menemukan apa yang paling esensi dalam hidup. Bahkan sekelas Hotman Paris pun jadi sadar bahwa deretan mobil mewahnya di saat seperti ini tidaklah ada artinya. Apa yang bisa kita ambil pelajaran saat dahulu kita dengan mudah menyepelekan panggilan ibadah ke rumah-Nya, kini kita justru di larang untuk datang ke sana?

Gara-gara corona, banyak orang menjadi bingung tentang masa depan namun kemudian dia harus bisa berfikir kreatif, sekaligus mengembalikan kepada Siapa sesungguhnya dia layak bergantung dan berharap.

Gara-gara corona para orang tua kini menghabiskan lebih banyak waktunya di rumah dan sadar bahwa keluarga adalah harta yang paling berharga (backsound: keluarga cemara).

Para orang tua pun sadar bahwa pendidikan anak sejatinya adalah tanggung jawab mereka. Sekolah dan para guru hanyalah supporting systemnya.  Gara-gara corona, pemerintah mulai meperlihatkan cara mereka berkoordinasi dan berkomunikasi. Tanpa sadar kemudian membuat semua pihak memahami bahwa koordinasi dan komunikasi pemimpin di negara ini perlu diperbaiki. Dan kita pun belajar dari semua ini.

Gara-gara corona, bukan hanya rumah tangga yang harus smart buying tetapi semua korporasi mulai berbenah tentang skenario Business Continuity Plan yang lebih sustainable, dan tentu berangkat dari aspek-aspek yang most matters untuk bisa terus survive.

Siapa yang mengira di era yang serba hi-tech ini sebuah wabah renik bisa memporak-porandakan tatanan global “sunda empire” ini?  Tidak pandang negara super power, atau pun negara berflower…. juga bukan hanya orang papa dan miskin tetapi orang kaya nan famous pun panik tanpa bisa piknik!

Kita harus percaya, Allah memberikan ujian, untuk memperlihatkan apa-apa yang selama ini masih perlu diperbaiki dari dalam diri kita.

Kembali soal dunia kerja kita, gara-gara corona pun akhirnya kita sadar bahwa make a good team is not only about “haha-hihi” yang ikrib dan hangat. Atau kedeketan interaksi secara langsung yang teratur. Di atas semua itu kita pun sadar, ada hati-hati yang bisa diikat lebih utuh tanpa harus bertatap muka, karena pertemuan yang intensif tak harus dengan bertemu fisik. Jarak, tempat dan waktu itu bisa tidak ada artinya ketika kita bisa saling memahami dan bersedia berkolaborasi.

Welcome to the new normal!

Di hadapan kita nanti (saat krisis ini berakhir), akan ada banyak perubahan yang signifikan di antara kita. Perubahan-perubahan ini harus disikapi dengan cara kita menyesuaikan diri terhadap zaman.

“The new version of me/us” harus jadi semangat bagi kita para pembelajar sepanjang hayat!

2 Comments

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.